Yasin merupakan anak tunggal dari keluarga uluan.
Dia seorang pemuda yang baru berumur dua puluh tahun. Tiga bulan yang telah lalu
ayahnya berpulang ke Rahmatullah. Sekarang tinggalah ia berdua saja dengan ibunya
yang sudah tua. Ia sangat menyayangi ibunya.
Setiap hari Yasin dan ibunya berjualan hasil kebun
ke Enam Belas Ilir. Ia berjualan dengan menggunakan perahu melewati aliran
sungai Musi. Suatu pagi ketika perahu Yasin melewati sebuah rumah besar, ia melihat
seorang gadis yang termashur cantik. Gadis itu bernama Molek. Molek merupakan
anak dari Raden Mahmud yang terkenal kaya dan pedagang yang terkenal dan ibunya
bernama Cek Sitti. Molek merupakan perawan bangsawan yang baru berumur 17
tahun. Ia anak ketiga dari tiga bersaudara. Molek seorang gadis rendah hati,
pengiba dan penyayang. Ketika Yasin memandang Molek. Ia merasakan sesuatu yang
aneh dalam hatinya. Ia menjadi riang.
Setelah menjual paranya, esoknya ia pulang ke
dusun. Semenjak ia bertemu dengan Molek, Yasin jadi sering tepekur. Ia pun
merasakan hal yang sama dengan Molek. Yasin tidak bisa melupakan Molek. Setiap
yasin melewati rumah Molek, mereka berpandang-pandangan dengan tak
berhenti-henti, penuh dendam birahi. Tanpa saling mengenal, Yasin dan Molek
saling jatuh cinta.
Yasin mempunyai kebun para dan menyadapnya sendiri,
di sebelah kebun paranya ada sebidang tanah yang ditumbuhi pohon pisang. Dua
bulan sekali Yasin menjual pisangnya ke Palembang, perjalanan itu membutuh
waktu sehari semalam dan ketika ia kembali ke kebunnya untuk menjemput ibunya,
ia naik kereta api sampai ke dusun Gunung Megang. Kalau Yasin pergi berjualan
pisang, ibunya tidak pernah dibawa tetapi diantarkan dulu ke rumahnya di dusun.
Sebenarnya Yasin berasal dari Gunung Megang, rumahnya tidak jauh dari halte
kecil di dusun itu. Namun sudah sembilan tahun Yasin dan ibunya tinggal di
kebun para dan hanya sekali-kali mereka pulang. Biasanya mereka pulang, ketika
ada pernikahan atau akan memakamkan mayat sanak saudaranya juga beberapa hari
sebelum puasa dan pada hari raya.
Sejak kanak-kanak Yasin telah menjadi bujang besar
sehingga berbeda dengan anak-anak sebayanya. Hanya buku cerita dan buku melayu
yang menemani hari-harinya ketika tidak ada pekerjaan.
Empat hari jalan kelima Yasin dan ibunya meninggalkan Palembang dan kembali ke kebun. Namun kalau dari ke Palembang hanya membutuhkan waktu sehari semalam saja.
Empat hari jalan kelima Yasin dan ibunya meninggalkan Palembang dan kembali ke kebun. Namun kalau dari ke Palembang hanya membutuhkan waktu sehari semalam saja.
Suatu hari ketika yasin dan ibunya sedang di kebun
para, tiba-tiba saudara yang bernama Muluk datang. Muluk disuruh bapak dan
kakak Thalib menjemput Yasin dan ibunya. Sembilan hari lagi Majid akan menikah
dengan anak haji Tohir. Keesokan harinya Yasin, ibunya dan Muluk pergi ke
Gunung Megang untuk mengunjungi ke makam kaum kerabatnya dan keesokan harinya
lagi mereka membersihkan rumah Yasin. Kemudian mereka pergi ke Penanggiran untuk
menemui sanak saudaranya juga untuk menghadiri pernikahan Majid. Dalam beberapa hari pernikahan disiapkan. Penduduk
Dusun Penanggiran amat sibuk, sebab peralatan kawin adik pesirah akan mulai,
lima hari lima malam lamanya. Sudah beberapa hari tak lain yang dipercakapkan
orang melainkan penjamuan yang besar itu saja.
Sejak ia tiba di penanggiran ia berusaha membantu
persiapan itu sehingga sejenak bisa melupakan Molek. Pada malamnya banyak
perawan jelita berkumpul, namun tak satupun membekas di hati Yasin.
Saat pernikahan dimulai, Yasin malah termenung
selalu memikirkan Molek. Ia takut cintanya kepada Molek tidak terbalaskan.
Dalam keramaian ia merasa sendiri. Termenung memikirkan nasib percintaannya.
Yasin sadar bahwa cintanya kepada Molek banyak alangannya. Alangan itu karena
perbedaan keturunan. Yasin hanyalah seorang anak dusun biasa sementara Molek,
ia seorang anak bangsawan yang kaya raya. Ibu Yasin pun merasa sedih dengar
nasib perantauan anaknya itu. Hari terakhir pada peralatan itu berangkatlah
Yasin dengan kereta api petang ke Gunung Megang. Di Gunung Megang malam itu
yasin tidur sendiri di rumahnya. Ia tidak mau pergi ke rumah saudara sepupu
ibunya. Karena ia ingin mengasingkan dirinya. Esoknya ia ingin menemui Molek.
Ia ingin mengetahui apakah citanya dibalas oleh Molek atau tidak.
Pada malam itu ia memikirkan bagaimana caranya
mengungkapkan perasaannya kepada Molek setelah lama berpikir, Yasin menemukan
ide bahwa untuk mengungkapkan perasaan itu yaitu dengan menulis surat. Setelah
sampai di Palembang, ia membeli sehelai sampul dan sebatang pinsil di kedai
orang Cina. Setelah itu mendekati rumah Molek, namun ia tidak melihat Molek. Ia
menjadi kecewa kemudian ia mencari tempat yang baik untuk mencurahkan isi
kalbunya itu. Tempat yang dipilihnya yaitu tempat tidur. Setelah selesai surat
itu, lalu dibacanya beberapa kali. Esoknya Yasin pergi ke rumah Molek . Ia
menyimpan surat itu, maka ia pun mengayuh sampannya ke muara anak air itu
kembali.
Hari itu Molek bangun sedia kala. Ketika ia pergi
ke kamar mandi, ia menemukan sepucuk surat yang terselip. Ia sangat kaget,
kemudian perlahan-lahan ia membaca surat dari Yasin itu. Setelah membaca surat
itu, Molek menjadi bahagia. Ternyata ia pun mencintai Yasin. Namun kebahagiaan
itu terhempas oleh perbedaan keturunan antara Yasin dengan Molek. Sejak berumur
sebelas tahun Molek dipingit oleh orang tuanya. Molek menyimpan surat berharga
itu diantara lipatan bajunya, kemudian ia membalas surat dari Yasin. Dalam
surat itu Molek menyatakan bahwa ia pun mencintai Yasin. Surat itupun diletakan
di suatu tempat tepian.
Hari bertukar minggu, minggu bertukar bulan pun
telah bertukar beberapa kali berganti sehingga telah menjelang setahun dalam
masa itu percintaan antara Yasin tiada berkurang tetapi malah betambah. Tetapi
meskipun demikian kasih sayang mereka hanya dari jauh sebab mereka belum pernah
bertemu, di tepian tempat mandi ada sebuah sudut yang tersembunyi di sanalah
mereka meletakan surat-suratnya dengan tiada diketahui orang lain selama
berkasih-kasihan itu, telah banyak mereka berkirim-kiriman surat.
Akhirnya pada suatu hari mereka ketemuan. Mereka
saling berpandangan dan melepaskan rindu. Namun pertemuan tidak lama, karena
kalau ketahuan celakalah mereka.
Setelah betemu dengan Molek, Yasin kembali ke Penanggiran. Pada suatu petang, Yasin dengan ibunya, Muluk dan pesirah Thalib dengan isterinya. Mereka membicarakan tentang nasib percintaan Yasin dengan Molek. Banyak benar alangan terhadap mereka. Pebedaan keturunan sangat sulit untuk dihilangkan. Bagaimanapun banyaknya harta keluarga Yasin, tidak ada harganya buat keluarga Molek. Tapi mereka bertekad untuk meminang Molek.
Setelah betemu dengan Molek, Yasin kembali ke Penanggiran. Pada suatu petang, Yasin dengan ibunya, Muluk dan pesirah Thalib dengan isterinya. Mereka membicarakan tentang nasib percintaan Yasin dengan Molek. Banyak benar alangan terhadap mereka. Pebedaan keturunan sangat sulit untuk dihilangkan. Bagaimanapun banyaknya harta keluarga Yasin, tidak ada harganya buat keluarga Molek. Tapi mereka bertekad untuk meminang Molek.
Keesokannya pesirah Thalib mengajak ibu Yasin pergi
ke rumah ayahnya untuk mempercakapkan maksud mereka. Mereka setuju dengan
putusan itu dan dua hari sesudah itu berangkatlah ibu Yasin, bapa dan mertua
pesirah Thalib, Muluk dan Yasin ke Gunung Megang. Di Gunung Megang lima hari
lamanya mereka berunding dengan bibi Munah. Dalam waktu itu Yasin sering
berziarah. Setelah berunding, mereka pergi ke Palembang.
Tiba di Palembang mereka pun tidak berlabuh di enam
belas ilir, dekat rumah Raden mahmud, melainkan di muka benteng dekat pangkalan
di muka rumah Residen. Selang beberapa waktu ibu Yasin, bibi Munah, ayah dan
bunda pesirah Thalib datang meminang Molek. Tapi mereka pulang dengan tangan
hampa, karena Cek Sitti berterus terang bahwa Molek tidak dapat diserahkan
kepada orang Uluan. Jodohnya mesti seorang bangsawan.
Molek sangat sedih mendengar keputusan ibunya itu.
Sikapnya pada ibu dan ayahnya jadi berubah. Ia menangis dan menangis akhirnya
ibunya tahu, kalau Molek menangis karena ibunya menolak pinangan keluarganya
Yasin. Setelah tahu hal itu, ibunya Molek menjadi marah dan murka. Kemudian ia
pun memberitahu Raden Mahmud. Ayahnya sangat marah kepada Molek. Ia ditampar,
ditempeleng dan mengatai Yasin dengan kata-kata yang pedas. Molek dibenci oleh
orangtuanya, seolah-olah ia melakukan dosa besar. Ayahnya mengancam, kalau
Yasin datang lagi menemui Molek, maka ia akan binasa.
Setelah orang tuanya pergi, Molek mulai membaca
surat dari Yasin. Isi surat itu menyatakan kalau keluarga Yasin telah meminang
Molek. Tetapi pinangan itu ditolak. Jadi Yasin memutuskan untuk melepaskan
Molek. Setelah selesai membaca surat itu, kemudian Molek membalas. Isi surat
balasan itu menyatakan bahwa Molek tidak mau ditinggalkan Yasin, dan sabar
menunggu. Sejak menerima surat balasan dari Molek, Yasin tidak ingin lagi
meninggalkan Molek. Namun ia dan keluarganya haus pulang ke Gunung Megang.
Waktu terus berjalan, Raden Mahmud dan istrinya
bertambah lama bertambah lupa dengan kasalahan Molek. Molek sendiri pun telah
jauh berkurang amarahnya kepada orangtuanya. Pada suatu hari Molek dipinang
oleh Syaid Mustafa, yaitu seorang arab yang ternama kaya dan berharta di kota
Palembang. Pinangan itu diterima. Walaupun ia bukan keturunan nabi atau berasal
dari tanah suci. Molek dan Yasin putus asa dengan keadaannya. Pada malam
esoknya ia akan dikawinkan, Molek ingin bertemu dahulu dengan Yasin.
Akhirnya merekapun bertemu. Mereka saling melepas
rindu. Namun ketika pertemuan itu berlangsung tiba-tiba ombak menghantam perahu
Yasin sehingga mereka berpisah. Ketika melihat orang-orang keluar dari rumah
Molek maka iapun dengan segera menghanyutkan perahunya sementara Molek jatuh
pingsan, tetapi tak berapa lama Molek pun sadar. Tapi dengan kejadian itu,
Molek terpaksa menuruti keinginan orangtuanya. Akhirnya pernikahan Molek dan
orang Arab itu berlangsung. Setelah pernikahan itu, orangtua Molek pergi untuk
beribadah haji.
Sejak menikah Molek sering termenung dan sendiri.
Suaminya tidak mencintai, ia sering ditinggal suaminya itu. Ternyata dia hanya
ingin menguasai harta dan kekayaan orang tua Molek saja, bahkan suaminya itu
tak menafkahinya sehingga ia sangat menderita. Dalam kesendiriannya itu, Molek
menulis surat buat Yasin; isi surat itu, menyatakan penderitaan Molek selama
ini dan ingin bertemu dengan Yasin. Sebenarnya pertemuan itu pertemuan
terakhir. Setelah menerima surat dari Molek, Yasin dengan segera menemui Molek.
Dalam pertemuan itu, Molek menjatuhkan diri memeluk kaki Yasin. Ia meminta maaf
karena telah menikah dengan laki-laki lain. Perlahan Yasin mengangkat tubuh
Molek dan memeluknya. Sambil berkata bahwa Molek tidak bersalah. Tapi Molek
tiba-tiba menjadi kasar kepada Yasin. Ia mnyuruh Yasin untuk pergi meninggalkannya.
Yasin terkejut dengan sikap Molek itu. Ia pun pergi meninggalkan rumah Molek.
Dua hari keesokannya Yasin melayari sungai Musi. Ia
tidak berputus asa untuk menunggu surat dari Molek. Ia pun pergi ke tepian
rumah Molek, tetapi ia tidak menemukan lagi surat itu ketika di tepian.
Tiba-tiba ia terkejut suatu bayangan manusia naik dari tangga dan terus masuk
ke pintu yang terbuka. Yasin tahu, kalau yang masuk itu adalah Molek. Sekejap
pintu itu tertutup kembali. Tanpa sadar ia menangis dan firasat hatinya
mengatakan bahwa Molek telah meninggalkan ia untuk selama-lamanya.
Setelah kejadian itu, ia menemukan sebuah surat
terakhir dari Molek. Isi surat itu yaitu demi menjaga kemuliaan cintanya kepada
Yasin lebih baik ia berputih tulang. Surat pertama dari Yasin ia bawa ke liang
lahatnya dan Molek pun menulis kalau ia akan menunggu Yasin di akhirat.
Yasin ingin menggagalkan niat kekasihnya itu namun ia gagal. Esoknya ia mengetahui kalau Molek telah meninggal dunia. Beberapa hari Yasin tinggal di kuburan Molek bersama-sama dengan orang yang mengaji buat arwah Molek.
Yasin ingin menggagalkan niat kekasihnya itu namun ia gagal. Esoknya ia mengetahui kalau Molek telah meninggal dunia. Beberapa hari Yasin tinggal di kuburan Molek bersama-sama dengan orang yang mengaji buat arwah Molek.
Beberapa minggu sesudah itu Yasin pulang ke dusunnya.
Beberapa lamanya yasin tinggal bersama-sama ibunya di sungai Lematang. Suatu
hari ibunya sakit, lalu dibawanya ke dusun Gunung Megang. Disanalah ibunya
berpulang dan beberapa hari sesudah itu hilanglah Yasin dari dusun kecil itu
dan tak seorang pun tahu kemana peginya Yasin.
Pada suatu tempat rimba lebat di gunung Seminung,
di pekan dusun Sukau tinggalah seorang laki-laki telah lanjut dan ia adalah
Yasin. Disana Yasin bersahabat dengan anak muda yang bernama Rahman. Kalau
Rahman membawa dagangan ke ranau ia selalu mengunjungi Yasin, lelaki yang lebih
tua darinya.
Pada suatu hari Rahman membawa seorang gadis ke
pondok Yasin. Ia melarikan gadis perempuan itu. Kisah percintaan Rahman dengan
gadis itu sama dengan kisah percintaan Yasin dan Molek. Esoknya Rahman membawa
gadis itu pergi ke Kroi. Yasin pun teringat dengan Molek, malam itu ia mendapat
kemenangan dan ketenangan dalam hidupnya. Yasin menjadi orang tua yang saleh
dan taat beribadah. Suka menolong siapapun dengan segala tenaganya tanpa
pamrih. Hidupnya aman dan sentosa seakan-akan setiap waktu disinari oleh cahaya
Illahi.
Kutipan yang menarik:
Bulan memancar amat terang di langit yang tiada
berawan. Sinar putih yang permai menerangi seluruh Palembang. Sungai Musi yang
lebar itu berkilau-kilauan seolah-olah sebuah cermin yang amat besar. Lampu di
rumah dan di perahu terbayang gelisah seperti ular melata di tempat yang licin
(hal. 1).
“O, jeling mata yang menambat ! engkaulah tali yang
tak dapat dilihat, tak dapat diraba, tetapi...terung mengikat” (hal 2).
Cinta bukannya barang yang dapat dikuasai oleh
pikiran. Cinta ialah kekuatan yang Maha Kuasa, yang tak dapat ditahan atau
dimusnahkan. Apa juapun yang menghalanginya, namun cinta itu akan terus menurut
jalannya.(hal 14)
...Makin lama makin insyaflah ia bahwa ia, mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan cintanya, dengan perjanjian batinnya dengan Molek. Keinsafan itu seakan-akan anak air yang mengalir perlahan-lahan, tetapi terus melarik berdikit-dikit, meruntuhkan tebing dan gunung..(hal 35)
Tetapi seorang ibu yang penuh kasih sayang tahu
setiap waktu akan keadaan anaknya. Tiap-tiap perubahan bagaimana juapun
kecilnya, baik lahir maupun batin, tiada luput dari matanya yang senantiasa
menyinarkan cahaya cinta itu (hal 38)
Makin dekat pada rumah raden Mahmud, rumah
kekasihnya. Makin dekat pada rumah itu, makin tiada terperikan riangnya,
hatinya berdebar-debar, seakan-akan hendak memecahkan dadanya (hal 50)
Lemah badannya dan beberapa lamanya ia terhambung
tinggi-tinggi di lautan cinta yang baru ditempuhnya itu. (hal 60)
Dari kalbunya yang jernih seakan-akan keluar suatu
perjanjian yang suci: “Selama darahku masih mengalir dari jantungku selama itu
cintaku ini tiada kulepaskan”. (hal 60)
Lupalah mereka akan kesunyian yang telah
dideritanya dan seluruh dunia ini tampaklah oleh mereka suatu surga yang
terjauh dari kedukaan dan kemelaratan. (hal 68)
Melihat Molek serupa itu tersumbatlah kerongkongan Yasin dan pikirannya seakan-akan gelap diselimuti oleh kabut yang tebal... (hal 71) “Adindaku... Molekku...” demikian keluar perkataan dari mulut Yasin, suram dan parau, laksana bunyi guruh pada tengah hari yang panas. Setelah itu ia pun berdiam diri pula, seakan-akan tak dapat ia mencari kata-kata akan penerus percakapannya. (hal 71)
Melihat Molek serupa itu tersumbatlah kerongkongan Yasin dan pikirannya seakan-akan gelap diselimuti oleh kabut yang tebal... (hal 71) “Adindaku... Molekku...” demikian keluar perkataan dari mulut Yasin, suram dan parau, laksana bunyi guruh pada tengah hari yang panas. Setelah itu ia pun berdiam diri pula, seakan-akan tak dapat ia mencari kata-kata akan penerus percakapannya. (hal 71)
...Sesungguhnya seorang ibu senantiasa tahu apa
yang terbit dalam hati anaknya dan dengan perasaannya yang halus itu dapatlah
ia memberi aliran pada banjir yang sebesar mana sekalipun (hal 77).
Dengan tiada gentar sedikit jua gadis itupun kepada
ibunya bahwa ia tidak mau bersuamikan laki-laki itu, meski ia diderita
sekalipun. Tidak, ia tak usah dipersuamikan, biarlah ia sempa seumur hidupnya.
(hal 107)
Seluruh sungai Musi gelap-gulita laksana dicat
dengan tinta yang hitam dan tebal dan hanya pad beberapa tempat kelihatan
kegelapan yang tidak terhingga itu ditembusi oleh cahaya lampu dalam rumah dan
kapal (hal 113).
“...Bagiku
tak ada yang lebih mulia dari cintaku kepada kakanda itu maka dengan tulus dan
ikhlas aku sanggup berputih tulang”. (hal 145)
“Ya, sebenarnya banyak yang ganjil dan ajaib di
dunia ini”. (hal 148)
Dari muka air yang tenagn itu naiklah suatu cahaya yang ghaib, yang tak dapat dikaji. Cahaya itu membumbung ke atas, seakan-akan menyongsong sinar bintang dari langit. (hal 155)
Tetapi karena ia tak dapat mengecap kemujuran dunia itu oleh perbuatan manusia, maka tercurahlah kepadanya nikmat akhirat yang kekal dan tiada terwatas, yang hanya teruntuk bagi orang yang dapat melepaskan dirinya dari segala ikatan dan kongkongan dunia. (hal 156)
Dari muka air yang tenagn itu naiklah suatu cahaya yang ghaib, yang tak dapat dikaji. Cahaya itu membumbung ke atas, seakan-akan menyongsong sinar bintang dari langit. (hal 155)
Tetapi karena ia tak dapat mengecap kemujuran dunia itu oleh perbuatan manusia, maka tercurahlah kepadanya nikmat akhirat yang kekal dan tiada terwatas, yang hanya teruntuk bagi orang yang dapat melepaskan dirinya dari segala ikatan dan kongkongan dunia. (hal 156)
Dirujuk dari : http://shinwidyanti-shinta.blogspot.com